Puisi-puisi Ardhi Ridwansyah

DI BAWAH POHON BARUS

Di bawah pohon barus,

Kurapal doa-doa yang rekat,

Pada batang menguar aroma,

Wewangian rindu bersama getah,

Yang leleh tak kuasa bendung sendu.

 

Rangkai puja puji pada sekujur ranting,

Bercabang membentuk cakar.

Yang siap mencabik hati gulita,

Minim cahaya pelita.

 

Di bawah pohon barus,

Kenang cinta di kota bertuah,

Kala burung bersarang di atasnya,

Kicau meracau tentang hidup penuh suka.

 

Seraya impian bersanding pada awan,

Lalu turun, sembunyi di balik rimbun pohon barus,

Menebar harum sedikit demi sedikit,

Tercipta senyum di hati nan sakit.

Jakarta, 2023

 

 

MENANTI DI TITIK NOL

Kota ini boleh tua,

Dan usiaku boleh saja usang,

Namun di titik nol ini, kala jejak-jejak,

Islami menjamah nusantara.

Aku duduk menunggu di sana.

Dengan hati membara.

 

Rambutku boleh memutih,

Tapi rindu yang kuambil dari waktu.

Yang terserak sepanjang napas tak terhenti,

Adalah amunisi untuk berpaku pada parasmu,

Yang selalu berarti.

 

Untai kata yang kubungkus tasbih,

Berharap menguap jadi darma,

Jadi suluh kerinduanku yang mengetuk nuranimu,

Untuk bersua di titik nol,

Di titik paling serius,

Kala senyum terlukis di kota Barus.

Jakarta, 2023

 

 

 

CURHAT PANTAI KAHONA

Kutelan senja,

Setelah duduk di bibir Pantai Kahona,

Dengan ombak merayu.

Dan mesra siul angin mendayu.

 

Ah, Dik, andai kau kudekap,

Dari gigil laut malam,

Pandang remang lampu-lampu,

Dari perahu nelayan yang siap.

Menantang gelombang.

 

Kaulah sajakku tersayang!

 

Lambai daun pohon kelapa,

Menyapa yang  nestapa.

Ronamu terpatri di butiran pasir pantai,

Yang kunikmati bersama fansur,

Duduk berkisah tentang,

rasa yang lunglai.

Jakarta, 2023

 

MEJA MAKAN

Meski kaki ini berlumpur sawah.

Tapi kita buru sekilo siput dengan tawa.

Untuk petang nanti santap bersama.

Dengan kuah kuning asam pedas.

Menari-nari perut yang getas.

 

Lihai jemari meracik bumbu.

Lidah berliur nafsu menggebu.

Hanyut napas lekas berlabuh.

Hendak bibir ingin bercumbu.

Melumat siput yang telah lumpuh.

 

Gulainya gemulai rasanya aduhai.

Sedot perlahan berbunyi nyaring.

Pecah rindu Kampar terhampar.

Di meja makan ayah ibu tergambar.

Jam dinding melaju hambar.

Jakarta, 2023

 

RINDU LAUTAN

Telah kubenamkan segala rindu,

Di dalam tubuh lautan yang kukuh,

Dengan ombak menari syahdu ketika,

Hari berganti dan matahari menyinari,

Permukaan nan gigil.

 

Fajar tiba saat mata ini terpaku,

Menatap gulungan air yang lincah berlari,

Merongrong jemari kaki ringkih,

Bersimpuh dengan lirih tentang cinta,

Yang berakhir perih.

 

Sedang isi kepalaku terbang dibawa camar,

Tengah asyik menerka mangsa,

Bertengger di bebatuan tepi pantai dengan jiwa.

Menantang gelombang, memekis ombak,

Mengitari cakrawala, menembus lambung lautan,

Santap seekor ikan, pulang memikul harapan. 

Jakarta, 2023

 

LANGIT TERBAKAR DI MINGGU RAYA

Para penyair duduk di bangku panjang,

Dada gairah gonggong keras dengan sajak.

Yang bertebaran di meja-meja ramai,

Hiruk pikuk aksara datang dan pergi,

Sapa isi kepala sesak elegi.

 

Cumbu mesra waktu,

Langit petang datang, terbakar!

Seraya suka duka tertuang dalam memori,

Setelah pertemuan dengan secangkir kopi robusta,

Di Mingguraya.

 

Hangus cakrawala, tiada terang,

Dan hanya berharap pada bintang,

Mohon pandu raga yang telentang,

Tatap sendu kisah kasih sayang,

Yang tinggal tulang belulang.

 

Retas sepi renung bersama air mancur,

Dan rendam mata menebas pedih,

Gugur panas dari langit terbakar,

Yang dipandang dengan sedih di Mingguraya.

Jakarta, 2023