Genealogi Kupu-kupu Sindu Putra

Dari bentangan jejak kepenyairan Sindu Putra, diksi kupu-kupu acapkali digunakan dan dipersonifikasikan sebagai aku-puitik. Kupu-kupu nyaris mendominasi puisi-puisinya jika misalnya dilakukan semacam indeks. Kupu-kupu menjadi citra dalam imajinasi yang liar terbang dan berjentik dalam larik-larik puisi Sindu. Lekatnya kupu-kupu dalam puisi Sindu membuat kita bertanya, dari mana kupu-kupu itu muncul?

Sindu tentu tak memaknai kupu-kupu secara harafiah ataupun kuasi ilmiah sebagai metamorfosis dari larva dan kepompong. Sindu lebih melihat kupu-kupu secara lebih intim sebagai metafora atas perjalanan tubuhnya. Selaku penyair yang lahir di Pulau Dewata dan saat ini bermukim di Pulau Lombok, Sindu punya semacam persilangan kultur yang terbentuk secara empiris; yang strukturnya telah terbangun secara historis. Kedua pulau ini juga memiliki diferensiasi dalam konteks religiositas yang mencolok. Persilangan itu membentuk tubuh penyair yang tegak dalam rumah atau sebatang pohon yang ia cintai.

Belakangan, Sindu kerap kali menggarap tema-tema yang berhubungan dengan kultur dan alam Lombok, baik secara geografis maupun secara toponimi. Sebagaimana umumnya para penyair dari Pulau Dewata yang berupaya mendekatkan dirinya dengan fitur-fitur ekologis yang beririsan dengan spiritualitas. Mengingat spiritualitas yang dihayati Sindu merupakan warisan leluhur yang di masa Orde Baru dituntut oleh negara mengikuti definisi agama sehingga diringkus menjadi agama Hindu.

Dengan kata lain, spiritualitas tersebut berkontestasi dengan politik sehingga menciptakan kekhasan dari keunikan tipografi, bertaut dengan kekuatan frasa yang liar dan cenderung gelap. Terlebih spiritualitas tersebut mengembara seperti kupu-kupu mencari taman bunga di tanah yang lain. Salah satu sajak Sindu berjudul Kupu-kupu Kuning dalam Cerita Pendek Putu Arya Tirtawirya menjadi titik tolak sekaligus sebagai semacam kredo munculnya kupu-kupu.

Sajak tersebut ditulis Sindu untuk Putu Arya Tirtawirya, seorang sastrawan Lombok yang lahir di Bali pula. Salah satu penggalan puisi tersebut dengan tegas mengisahkan asal mula perjalanan kupu-kupu (saya kutip dengan mengubah tipografinya);“...”lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning/ yang hinggap di potret masa muda/saya.”// kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok/ menemukan taman bunga bawah laut... // kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,/ yang lebih manis dari susu ibu” // “ciumlah bau tuak, sindu/ yang menenggelamkan bulan di Cakranegara/ dengarlah kokok ayam jantan,/ yang menggiring penangkar kupu-kupu/ ke goa-goa di pinggiran kota./ saya ini, seorang urban di kampung halaman.....”

Dari sana tampak, ternyata kupu-kupu dalam sajak Sindu adalah kupu-kupu kuning pemberian Ida Bhetara Alit Sakti di Pura Bukit yang terbang di selat Lombok. Kupu-kupu ini dalam sajak Sindu disebut sebagai si pemburu madu. Kupu-kupu tersebut menjadi simbol terhadap bayangan masa silam kala berlayarnya empat perahu yang dipimpin I Gusti Anglurah Ketut Karangasem menuju Lombok pada pertengahan abad ke-17.

Pasukan Karangasem percaya bahwa kupu-kupu di permukaan laut Selat Lombok adalah “bala samar”, penjelmaan pasukan Karangasem yang sekaligus berfungsi sebagai juru peta bagi para pasukan pemburu madu. Berkat kehadiran kupu-kupu itu, Karangasem berhasil mendarat dengan selamat. Konon, begitu menambatkan perahu, orang-orang dalam perahu itu heran, ternyata kupu-kupu kuning yang terbang di permukaan laut berubah menjadi pasukan yang bersila dan secara samar-samar menghilang.

Begitu Karangasem menjadi penguasa tunggal, amaq-amaq dipaksa mengerjakan proyek-proyek (kurve) sebagai monumen hanya lantaran memuaskan hasrat si raja pemburu madu. Mereka membuat rumah megah bagi kupu-kupu yang tengah menikmati hasil pajak yang dipungut oleh kaki tangannya. Separuh dari bangsawan Sasak adalah bagian dari kaki tangan itu. Namun, setelah berkuasa cukup lama, Karangasem pun digempur Belanda. Puri Cakranegara akhirnya dijarah dan luluh lantak.

Tarikh 19 hingga 29 September 1894 menjadi semacam “nisan” yang menandai runtuhnya kekuasaan dan kemegahan rumah kupu-kupu yang dipenuhi kolam dan bunga-bunga di sekelilingnya. Tak kurang dari 4950 peluru berhamburan dari moncong senjata orang Eropa. Kaum kupu-kupu pun keteteran menghambur dan bersembunyi di balik pohon-pohon tua. Kupu-kupu dilema, apakah ia bertahan atau pulang ke habitatnya.

Kehilangan rumah semacam itu muncul dalam puisi berikut: kupu-kupu getas/ yang kehilangan sehektar taman bunga/ kupu-kupu garam/ yang kehilangan bunga padi yang wangi,/ kupu-kupu yang tua itu,/ kini hinggap di potret masa lalumu/dalam kamar, tanpa sungai-sungai api/ tanpa pohon-pohon sungsang// kupu-kupu yang ditinggalkan malam,/ kupu-kupu yang ditinggalkan pagi. Setelah rumah dijarah dan dihancurkan, kupu-kupu enggan balik arah. Kupu-kupu merasa nyaman tinggal di balik-balik pohon. Apakah rumah bagi seekor kupu-kupu? Tanya Sindu dalam puisinya.

Sedangkan dalam puisi lain, Sindu mengungkapkan; di akhir penjarahan ini/tinggal aku/menanam ilalang. Itulah sebabnya kupu-kupu itu sekarang berjentik di pohon-pohon tua yang sangat ia cintai. Puisi berjudul Mataram, 17 Agustus 2015 menerangkan hal tersebut; aku merayakan ulang tahun/ bagi sebatang pohon/ sebatang pohon yang menjadi negeri/ bagi 250 juta kupu-kupu//...pohon yang menjadi rumah kawin/ bagi kupu-kupu yang sebatang kara/ kupu-kupu urban kehilangan kampung halaman/ kupu-kupu yatim piatu.

Pohon-pohon dalam sajak Sindu adalah rumah sekaligus tempat kupu-kupu mengamati tanah tempatnya berpijak kiwari. Ia menatap Pulau Lombok dari ketinggian, dari pucuk pohon-pohon tua. Si kupu-kupu merasa sangat mencintai pohon itu hingga merasa perlu untuk merayakan ulang tahun bagi rumahnya. Saking cintanya si kupu-kupu, ia enggan atau barangkali tak cukup berani menyatakan nasib si penghuni “yang lain” di tanah tempat pohon itu tegak.

Karena itu, kupu-kupu yang bermata satu hanya bertendensi melihat rumah dan tanah pengembaraannya bukan sebagai ruang, melainkan sekadar sebagai tempat. Dengan kata lain, mata kupu-kupu dalam puisi Sindu, terutama yang bertema Lombok adalah puisi yang melihat Pulau Lombok dari pucuk pohon, seperti drone yang terbang di atas hijau sawah, pantai dan air terjun. Namun, mata kupu-kupu yang bak drone itu tak mampu menangkap tubuh generasi petani yang kurus kering dan membungkuk memanggul gabah.