Esai Jassin-Chairil dan Kekuatan Legitimasi di Balik Diaspora Perkembangan Sastra

Tokoh sastra dan legitimasinya kerap mewarnai laju dan laku kosmologi sastra di zamannya. Tokoh sastra mirip seorang imam yang jejaknya menjadi kiblat, pandangannya jadi peta, dan pemikirannya menjadi lokomotif proses penciptaan yang memicu sebagian sastrawan lain untuk bermakmum. Mirisnya, para makmum adakalanya tanpa interupsi, sepi dari sikap kritis, dan cenderung mengangguk iya pada apa pun yang menjadi fatwa sang imam. Padahal, sebagaimana yang dimafhumi bersama, sastra akan berkualitas dan terus berkembang dengan baik dan dinamis bila ada diskusi, sanggahan konstruktif, upaya reformulasi, dan kritik yang membangun. Sastra bukan hal mutlak yang holistis, ia butuh cara pandang baru dan gagasan segar sebagai upaya diaspora kreativitas ke arah penyempurnaan dan pembaharuan bagi yang terdahulu. Tokoh-tokoh sastra terutama yang hegemonik butuh gempuran pemikiran lain dari generasi berikutnya sebagai jalan kontribusi intelektual guna menyempurnakan eksistensi sastra itu sendiri ke arah yang lebih progresif.

Dalam sejarahnya, tokoh sastra hegemonik merupakan produsen fundamental yang melahirkan sastra hegemoni. Antonio Gramsci adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam konteks analisisnya tentang budaya dan politik. Menurut Gramsci, hegemoni sastra terjadi dengan beberapa cara, yaitu melalui bahasa, gaya sastra, genre sastra, kelompok atau penulis tertentu, dan ideologi atau nilai.

Di Indonesia, pada awal abad ke-20 terutama di masa awal pergerakan nasional sebagian tokoh sastrawan Pujangga Baru cukup berpengaruh bahkan bisa dibilang hegemonik mewarnai sastra Indonesia, sehingga perkembangan sastra agak statis dan tak menunjukkan corak yang segar.

Di masa itu, Armijn Pane sebagai salah satu eksponen masyhur melalui esainya Kesoesastraan Baroe yang terbit di Pujangga Baru, 1, 1933 memang mengungkap keinginannya untuk menggarap bentuk karya sastra baru yang diinspirasi oleh Willem Kloos (1858--1938) dan Jaques Perk (1859--1881). Selain itu, ia juga menukil pengantar Kloos dalam kumpulan soneta Perk sebagai referensi sekaligus eksprimentasi bentuk baru untuk mengganti pantun, syair, seloka, dan bentuk sastra lama lainnya. Namun, karya-karya Armijn dan eksponen Pujangga Baru lainnya masih belum menunjukkan sebuah dobrakan substantif untuk melahirkan karya baru. Sastra gaya lama masih sublim dan memengaruhi konstruksi dan isi karya mereka. Pada tanggal 11 Maret 1944 Chairil mengirim kartu pos dari Paron kepada Jassin. Isi surat itu mengilustrasikan spirit Chairil untuk mendobrak karya sastra lama dengan corak baru yang lebih segar dan menawarkan efek kreativitas yang up to date,

“Terasa kesanggupanku untuk menulis studi-studi tentang kesusasteraan. Meski ada yang memulai, bukan Takdir apalah yang dituliskannya kesusasteraan, pujangga baru kebanyakan epigones ’80…, epigones yang tak tentu tuju pula,” tulis Chairil.

Berikutnya, pada tahun 1945 Chairil kembali menulis Hoppla! (Pembangunan, No. 1/Thn.1, Desember 1945). Tulisan Chairil itu tetap dalam prinsip dasar sebagai pemantik api bagi sumbu perubahan sastra agar lepas-tetas dari kekang warna dan corak karya eksponen Pujangga Baru yang dinilainya masih kaku.

Di balik kegigihan Chairil muda yang menggebu untuk menggapai perubahan, beruntung sastrawan Pujangga Baru punya H.B Jassin yang pemikirannya terbuka dan lepas dari ego senioritas. Ketika Jassin bekerja di majalah Panji Pustaka, Chairil datang menemuinya dengan membawa 20 sajak, Jassin sadar bahwa sajak-sajak Chairil terbingkai dalam struktur dan style yang baru. Jassin menyadari bahwa semua itu merupakan evoluasi sebentuk diaspora intelektual yang memutus jalan persajakan lama yang statis. Jassin mengusulkan agar sajak-sajak Chairil diterbitkan di Panji Pustaka. Namun, Armijn Pane selaku pemimpin redaksi menolaknya. 

Kemudian Jassin dengan kegigihan dan dedikasinya, akhirnya ia mengetik sendiri 20 sajak Chairil tersebut menjadi rangkap enam. Lalu naskah itu disebar ke beberapa teman-temannya yang ahli sastra, termasuk kepada Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Said, dan Sutan Sjahrir.

Aktivitas antar-jemput pemikiran di balik dinamika produksi kesusastraan sebagaimana yang dilakukan Jassin-Chairil tersebut adalah indikasi gerak putar roda sastra yang baik dan berkembang melibas ragam ego, melangkahi arogansi hegemoni senioritas, dan melindas sekat dikotomik senior-junior; semua berpegang erat atas dasar dedikasi dan rasa cinta, menuju pintu pencerahan yang ditunggu banyak orang.

Lalu bagaimana dengan eksistensi tokoh dan perkembangan sastra terkini? Apakah mereka memiliki hati dengan spirit dialogis dalam melonggarkan ego senioritasnya untuk kemaslahatan sastra prospektif yang lebih biru dan baharu? Apakah jalan produktivitas karya masih tegak bertumpu pada sebentuk dedikasi atau sudah lengser ke dalam tendensi? Apakah mereka berani lepas dari subjektivitas personalnya demi menghargai corak lain yang lebih baru?

Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dengan spontan. Yang jelas, legitimasi yang berdasar pada senioritas jangan sampai jadi berhala yang disembah oleh kalangan senior karena ujungnya hanya membuat iklim kritik dan dialogis di kalangan sastrawan jadi mandul. Sebaliknya, yang terjadi adalah munculnya kotak-kotak senior-junior yang identik dengan superior-inferior. Mestinya ketimpangan semacam ini tak boleh terjadi. Itulah sebabnya di majalah Tanah Air yang terbit di Amsterdam (12/1990) Wiji Thukul menulis puisi yang yang isinya begini: “Inilah puisi jalanan, puisi ngamen, puisi yang tidak butuh legitimasi dewan kesenian.”

Dengan puisi itu, Wiji Thukul semacam menepi ke garis alienasi sebagai jalan alternatif keluar dari hegemoni legitimasi eksponen dewan kesenian yang sentral sekaligus untuk menunjukkan bahwa kualitas karya pada substansinya berada pada karya itu sendiri tanpa ada dependensi dan fatwa dari seorang tokoh, walaupun kita harus sadar bahwa keberadaan tokoh sastra tetaplah penting. Jika sastra dianalogikan dengan sebuah perjalanan, maka tokoh sastra pada hakikatnya adalah orang yang membersamai proses perjalanan, menyalakan semangat untuk terus melangkah, berdiskusi perihal jalan yang bagus, tanpa harus memaksakan sebuah jalan atau gaya berjalan seperti dirinya. Karakter tokoh yang seperti itu, ada pada diri Jassin dan Chairil. Lantas bagaimana dengan perkembangan sastra dan tokoh sastra saat ini? Apakah yang senior responsif dan terbuka bagi upaya kreasi baru dari yang junior seperti yang dilakukan Jassin? Atau jangan-jangan memang yang junior tak punya spirit untuk menciptakan karya baru karena tak meneladani Chairil?