Cerpen Rumah
Kali ini sedikit ada drama saat aku hendak bertemu dengannya di luar kota. Alasannya adalah aku mendapat undangan dari teman sewaktu kuliah yang sudah menjadi bupati. Undangan untuk menghadiri pesta pernikahan anaknya. Undangan itu membuatku sedikit beruntung, setidaknya aku sedikit digampangkan soal alasan.
Biasanya aku keluar kota untuk meninjau ke lapangan, bagaimana kebijakan perekonomian dijalankan. Waktu-waktu tersebut yang kemudian sedikit kumanfaatkan untuk kepentinganku; bertemu dengannya. Selama ini, keadaan cukup aman. Tahunya orang rumah, aku memang ada tugas dalam kurun waktu tertentu. Misalnya aku pamit dengan orang rumah tiga hari keluar kota, padahal pada kenyataan hanya membutuhkan waktu dua hari.
“Acaranya masih hari Minggu, tapi ayah berangkat hari Sabtu, ada apa?” tanya istriku dengan nada menelisik.
“Teman kuliah ayah dulu waktu S-2 ingin ketemu ayah, mau bertanya beberapa hal terkait dengan bisnis. Ayah menyanggupi hari Sabtu,” kataku.
“Orang mana dia?”
“Sama seperti kita, orang sini, cuman kebetulan ia sedang di tempat saudaranya. Nah, saudaranya itu tidak jauh dari tempat pesta pernikahan. Jadi, ketimbang bolak-balik, mending ayah cari penginapan di sana supaya lebih menghemat anggaran.”
“Aku berharap istriku diam. Akan tetapi, ….”
“Seharusnya dia yang ke sini, disempat-sempatkan. Masa malah Ayah yang ke sana. Yang butuh siapa? Lagian kalau Ayah ke sana, tidak perlu menginap juga bisa sebenarnya,” entah mengapa, kali ini nada bicaranya persis seperti orang yang sensi.
“Sama saja. Bedanya hanya capeknya. Kalau ayah di sana, paling tidak, sedikit mengurangi capek di perjalanan,” aku berusaha sekuat mungkin memberikan alasan yang logis.
Yang terjadi adalah istriku malah masih bertanya macam-macam. Istriku menanyakan, di hotel mana aku akan menginap, kemudian selesai bertemu temanku itu jam berapa, hingga keluar dari hotel rencana jam berapa untuk menghadiri undangan. Aku menjadi sedikit aneh, mengapa kali ini harus ada drama terlebih dahulu. Mungkin pikirannya sedang ruwet karena banyak tanggungan sebagai dosen dan menghadapi anak kami paling kecil yang akan kuliah.
Pada kenyataannya, apa yang kukatakan pada istriku soal temanku yang akan bertemu denganku pada hari Sabtu adalah kebohongan belaka. Aku tidak ada janji dengan siapa pun, kecuali dengannya. Ya, dengannya. Ia telah menunggu di sebuah restoran pukul satu siang pada hari Sabtu. Aku terlambat sepuluh menit.
Sebelum tiba di restoran, aku meminta sopirku untuk meninggalkanku karena pertemuanku cukup lama. Apa yang kukatakan padanya sama dengan yang kuucap ke istriku. Tentunya, apa yang kulakukan agar keadaan menjadi aman.
Aku juga menyuruhnya untuk memesan hotel untuk tidur malam nanti. Akan tetapi, aku tidak mengatakan kalau sebenarnya nanti malam kami tidur di hotel yang berbeda—sebenarnya aku sudah memesan via online hotel yang menjadi langgananku. Jadi, sopirku memesan hotel untuk dirinya sendiri, hanya saja ia belum tahu.
Ia menyambutku dengan senyuman. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya di pesan singkat, aku menyuruhnya untuk memesan tempat yang spesial. Ia tampak begitu bahagia, wajahnya begitu bersinar. Aku menangkap dari sorot matanya, ia seperti menyimpan sesuatu yang sebenarnya ingin dikatakan kepadaku. Mungkin semacam rindu. Hampir satu bulan ia tak bertemu denganku.
“Jam delapan malam saya tunggu di hotel, Mas,” ucapnya setelah makanan datang, tersaji di hadapan kami.
Suaranya terdengar lembut di telingaku. Hal-hal sentimentil semacam ini yang kemudian membuatku ingin memilikinya sepenuhnya. Ya, memilikinya sepenuhnya. Namun, hal itu sepertinya masih sulit terwujud. Setidaknya untuk saat ini.
Perempuan itu yang kukenal setahun yang lalu. Namanya Ratri. Ia bekerja juga di pemerintahan. Tidak heran obrolan kami banyak yang nyambung. Aku mengenalnya di sebuah acara seminar, waktu itu aku menjadi pembicara. Aku meminta nomor ponselnya, waktu itu aku akan berkunjung ke kantor pemerintahan tempatnya bekerja. Tentunya kunjunganku dalam rangka kerja.
Akhir-akhir ini, Ratri mulai berani berkata-kata padaku, berandai-andai bagaimana jika aku menikahinya. Ia berucap pasti akan bahagia dan tidak perlu repot-repot untuk bertemu. Oya, perlu diketahui bahwa Ratri merupakan janda anak satu. Suaminya telah meninggal tiga tahun yang lalu. Anaknya kira-kira berusia lima belas tahun.
Ratri telah menjelma rumah bagiku. Rumah yang kudambakan selama ini yang tidak kudapatkan di keluargaku. Jujur saja, aku hidup dalam kepalsuan di keluargaku. Aku bertahan karena anakku. Aku menyesal, dulu telah buru-buru mengambil keputusan. Ya, namanya cinta, siapa yang tahu? Tidak memandang logika.
Ya, kukatakan sekali lagi. Aku bertahan karena anakku, darah dagingku. Aku menikahi istriku yang sekarang dengan status duda. Anakku perempuan. Ketika aku menikahinya, istriku berstatus janda dengan anak satu berkelamin laki-laki. Ketika itu aku sangat senang sebab anak laki-laki begitu kudambakan. Aku menaruh harap besar meskipun ia bukan darah dagingku—aku sangat berharap ia dapat menjadi anak yang bisa dibanggakan. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu seperti tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Anak laki-laki itu begitu disayang oleh istriku. Sama sepertiku, istriku sangat berharap kepadanya sehingga kemudian menjadi salah dalam mendidik. Apa-apa dituruti. Apa-apa diada-adakan. Anak laki-laki itu serba kecukupan. Istriku menjadikan dirinya anak rumahan. Istriku selalu merasa khawatir jika ia bermain di luar. Ketika menginjak remaja pun masih sama perlakuannya. Ia menjelma orang yang tidak pengertian dan egois sehingga kemudian satu per satu temannya menjauh darinya.
Perlakuan itu berakibat buruk. Saat ini umurnya sudah menginjak seperempat abad dan aku melihat ia tidak mencerminkan sebagaimana orang pada usianya. Ia seperti tidak punya rencana hidup ke depan. Sampai saat ini ia belum juga melakukan pergerakan, tidak melakukan kegiatan apa-apa di rumah selain berhadap-hadapan dengan computer, hanya bermain gim. Umumnya orang seusianya sudah bekerja atau paling tidak melanjutkan pendidikan.
Anak laki-laki itu yang kemudian menjadi akar dari masalah-masalahku dengan istriku. Aku sungguh malu dengan keadaan yang demikian. Harapanku tidak terwujud. Celakanya, istriku masih berusaha menganggap hal itu adalah sebuah kewajaran. Ia selalu mengatakan kalau semuanya membutuhkan waktu. Aku sering marah pada anak laki-laki itu. Istriku tentu kerap membelanya. Yang terjadi kami menjadi bertengkar.
“Rasanya aku seperti tidak punya anak laki-laki. Apa-apa dia tidak bisa diandalkan,” keluhku kepada Ratri suatu hari.
Kekesalan itu terus kupupuk seiring berjalannya waktu. Rumah pun menjelma neraka. Saat aku dinas keluar kota, hal itu kusempatkan untuk memuaskan diri membuang segala penat.
Aku menemukan rumah untuk pulang. Rumah itu ada dalam diri Ratri. Jujur saja, percekcokanku dengan istriku membuatku terkadang malas tidur seranjang dengannya. Aku merindukan kehidupan yang romantis. Aku sebenarnya sudah tidak peduli, apabila nantinya apa yang kulakukan diketahui oleh istriku. Meski begitu, aku tetap mengupayakan semua ini menjadi aman.
“Ada apa? Kok seperti gelisah?”
Aku sedikit kaget. “Tidak apa-apa,” jawabku.
Sebelum Ratri bertanya, aku telah selesai makan dan saat aku membuka ponsel, ada lima panggilan tidak terjawab dari istriku. Ada juga pesan singkat dari sopirku. Ia mengatakan kalau ditelepon oleh istriku dan menanyakan keberadaanku dan mengapa teleponnnya tidak kuangkat. Hal itu benar-benar membuat jantungku lebih kencang degupnya.
“Ya, saya tadi cuma bilang kalau saya tidak di lokasi, maksudnya tidak dekat dengan Bapak karena saya harus memesan kamar hotel untuk Bapak,” kata sopirku di telepon.
“Ponsel kusetel mode silent, makanya tidak keangkat.”
Saat ini aku masih dikuasai rasa kaget. Lima kali panggilan tidak terjawab. Tumben sekali, batinku. Biasanya istriku paling banyak menelepon tiga kali tidak diangkat. Setelah itu ia bisa memahami kalau aku sedang tidak bisa diganggu. Sebegitu pentingkah sehingga sampai lima kali percobaan menelepon?
Aku ingin menelepon balik istriku. Namun, aku tidak mau. Aku tidak mau terganggu dengan apa yang dikatakan istriku nantinya—takutnya itu terlampau penting. Aku ingin benar-benar menikmati rasa nyaman berdua bersama Ratri.